Hi Temanasa,
Gimana lebarannya? Udah ditanya apa aja? Semoga apapun pertanyaannya, tidak membuat Idul Fitri temanasa jadi suram ya 🙂
Idul Fitri itu identik dengan saling memaafkan, bersilaturahmi, dan berkumpul dengan keluarga. Terinspirasi dari tulisan rekan psikolog @farraas tentang tidak semua orang menyambut Idul Fitri dengan perasaan bahagia, aku jadi ingin berbagi tentang perasaanku setiap Idul Fitri. Tulisan mbak @farraas itu membuatku berefleksi bahwa memang ada perasaan berbeda dalam menjalankan Idul Fitri, khususnya setelah ayahku meninggal. Salah satu perasaan yang kuat sekali dan seringkali menjadi pertanyaanku di akhir ramadhan adalah “sudah bisakah aku memaafkan?”, “tuluskah aku ketika bilang mohon maaf lahir batin? Atau itu cuma sekedar template aja karena dari dulu selalu baca tulisan itu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku selalu khawatir setiap bertemu orang-orang tertentu, kemudian harus bersalaman, berpelukan, dan menyampaikan ucapan lebaran kepada mereka. Lama kelamaan, aku memahami bahwa kekhawatiran ini muncul karena aku belum memproses emosi-emosi ku terhadap mereka. Aku terlalu keras pada diri sendiri sehingga aku memaksa diriku untuk memaafkan mereka, padahal bukankah makna maaf yang sesungguhnya adalah menerima emosi kita termasuk menerima apa yang sudah orang tersebut perbuat kepada kita?
Tentunya tidak mudah. Tapi bisa kita mulai dari menerima emosi kita dulu. Kalau marah ya marah aja. Ekspresikan marahnya dalam bentuk yang positif. Kalau nangis ya nangis aja. Ekspresiin nangisnya dalam bentuk yang positif juga. Nanti kalau emosinya udah bisa keluar, semoga kita bisa mengolah lebih dalam apa yang membuat kita merasa begitu dan ujungnya bisa memaafkan. Yuk, kita proses yuk.
Selamat Idul Fitri 1444 H bagi temanasa yang merayakan.
Mohon maaf lahir batin.
Selamat berkumpul dengan keluarga. Semoga kita bisa menjalani setiap kumpul keluarga dengan tulus dan menyenangkan
Love,
Anna Deasyana, M.Psi, Psikolog
