Tabu atau Malu?
Hi Temanasa,
Apa kabarnya? Semoga dalam keadaan sehat dimanapun Temanasa berada ya.
Aku semalam menyempatkan diri untuk nonton film Wonder, film tahun 2017 tentang seorang anak yang memiliki wajah yang berbeda (facial difference) dari orang pada umumnya dan orangtuanya memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah umum. Nonton film ini selalu membuat aku nangis. Nangis karena hangatnya dinamika di keluarga tersebut, nangis karena pasti berat banget jadi anak itu, dan tentu dari sisi keluarga, satu sisi berusaha untuk tetap support anak namun juga harus mengelola kekhawatiran mereka tentang masa depan anaknya.
Mungkin, di antara Temanasa yang membaca artikel ini, ada yang berada pada situasi tersebut atau kenal dengan keluarga dengan situasi serupa di film tersebut yaitu memiliki anggota keluarga yang difabel atau kondisi apapun yang membuat anggota keluarga lainnya khawatir dengan kehidupan masa depannya.
Kuncinya: menerima.
Menerima gimana? Kita bisa menerima kondisi mereka. Sudahkah kita bisa menerima kondisi mereka?
Hal lain yang pernah aku dengar juga, perlakukan selayaknya orang pada umumnya atau bertanyalah kepada mereka langsung apakah mereka nyaman diperlakukan seperti itu? Misalnya: dulu aku punya teman yang harus mengenakan kursi roda di masa mudanya. Dia sempet cerita bahwa dia merasa sangat tidak nyaman ketika orangtua atau saudara-saudaranya bersikap selalu membantu dia, selalu berespon cepat ketika mereka melihat temanku ini perlu bantuan. Temanku sadar bahwa sikap-sikap itu adalah bentuk kasih sayang dan perhatian dari keluarga namun yang mungkin dilupakan adalah sikap tersebut ternyata juga membuat dia seolah-olah tidak berdaya.
Pada situasi ekstrim, sangat mungkin muncul perilaku tidak mengakui atau menyembunyikan para anggota keluarga yang difabel tersebut dan menganggap tabu topik atau bahasa tertentu
…sebenarnya yang kita rasakan itu tabu atau malu?
Yuk, kita mulai dari diri kita sendiri untuk bisa menerima kondisi orang lain yang mungkin berbeda dari kita. Seperti di film Wonder, yuk kita belajar menerima dan memberi dukungan yang dibutuhkan. Khawatir pasti ada, tapi bagaimana kita merespon kekhawatiran itu juga perlu kita pahami dan lakukan.
Tapi perasaan malu itu wajar ga sih? Malu itu manusiawi dan wajar kok, tapi juga perlu digali apa yang membuat kita malu ya?
Yuk, mulai dari diri sendiri mengakui perasaan kita. Masih susah untuk mengakuinya sendiri?
Yuk #keamanasaaja
All is well
Anna Deasyana, M.Psi, Psikolog
One comment
Burnice Kuphal
January 25, 2018 at 9:35 am
Ut culpa eos mollitia ut officia aut. Vel error quos minima aperiam tempora. Ut consequatur ipsum et cupiditate enim. Nisi eum maiores ipsam sed.
Comments are closed.